Abah Guru Banjar Indah, Sosok di Balik "Keberanian" Saya Menulis Buku


Oleh: Muhammad Bulkini

Menjelang akhir-akhir Ramadan kemarin, sebenarnya saya ingin mereview buku terbaru Prof Mujiburrahman, tapi tak lama dari menjemput buku itu, saya mendapat kabar duka. Dan tiba-tiba, pikiran saya menjadi kosong. Seorang penyair pernah berkata, “Penyair serius sekali pun, ada saat-saat di mana ia merasa majenun.” Itu penyair serius, bagaimana dengan saya; yang bukan penyair dan juga bukan tipe orang yang serius?

Abah Guru Banjar Indah (Tuan Guru H. Syaifuddin Zuhri) dikabarkan meninggal dunia pada Minggu 27 Ramadan. Entah mengapa, setiap ulama tuha meninggal dunia, ada hal yang “nyesek” di dada.

Saya pertama kali mengenal beliau sekira tahun 2009-2010. Saat itu mengalir pecakapan tentang beliau di lisan jemaah shalat magrib di musholla, Komplek Pandu. Mereka menyebut, Abah Guru Banjar Indah sebagai seorang ulama yang kerap dimintai doa dan nasehat oleh masyarakat. Ada banyak orang yang mengantre di rumah beliau setiap harinya untuk alasan itu.

Ada banyak kenangan saya dengan beliau. Saya ingin bercerita terkait dunia kepenulisan saja. Satu di antaranya sekira tahun 2011, saya kehilangan notebook. Notebook itu terasa spesial karena banyak berisi kumpulan tulisan, berita, juga catatan kajian dengan banyak ulama. Notebook itu hilang tepat di bulan lunasnya kreditan.

Saat kehilangan tersebut, saya teringat dengan Abah Guru Banjar Indah. Maka kemudian, saya bertamu ke rumah beliau untuk meminta doa dan nasehat. Menariknya, Abah Guru Banjar Indah tidak mendoakan notebook itu kembali. Beliau berkata, “Aku mendoakan semoga diganti dengan yang lebih baik.”

Tak lama kemudian, saya menikah. Di saat resepsi pernikahan itu, saya mendapat hadiah dua lembar cek atas nama saya yang nominalnya sama dengan harga laptop yang saya inginkan; tidak kurang, tidak lebih. Menariknya, saya tidak kenal akrab dengan orang yang bersangkutan, bahkan satu di antaranya tidak pernah bertemu.

Tahun 2017, saya membuat buku “Abah Guru Sekumpul dalam Kenangan”. Saya sadar, hal-hal yang terkait dengan Abah Guru Sekumpul bakal ramai dibicarakan orang. Saya bukan melihat peluang laku, tapi lebih kepada khawatir akan “diboikot” karena dianggap “Menjual paguruan”. Meskipun, sebenarnya isinya hanya berupa kenangan murid, teman, dan orang-orang yang cinta dengan beliau.

Saat itu saya banyak meminta nasehat kepada banyak ulama, salah satunya Abah Guru Banjar Indah. Respons beliau kemudian menjadi penyemangat saya. Beliau meminta print-outnya untuk dibaca. Dan setelah membaca, beliau berkomentar, “Bagus, hindari menjelaskan sesuatu yang agak rumit (semisal menjelaskan dengan rinci pangkat kewalian, pen).” 

Setelah terbit, saya hadiahkan kepada beliau buku tersebut. Konon, menurut teman yang ikut menjualkan buku tersebut, beliau “mempromosikan” buku itu kepada jemaah, sehingga di antara mereka ada yang memborong buku tersebut untuk dibagikan.

Tahun 2020, saya kembali menulis buku, judulnya “Jejak 8 Ulama Thoriqoh Sammaniyah”. Buku itu terinspirasi dari sebuah kumpulan foto di warung dekat dengan makam Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Dalam bingkai foto tersebut, berjejer foto (sebagian lukisan) ulama. 

Saya mengira, pembuatnya bermaksud menyusun ulama-ulama tarekat Sammaniyah dari silsilah keguruan Abah Guru Sekumpul. Ketika itu, saya melihat ada yang keliru, yakni dimuatnya foto Syekh Zainuddin Abdul Madjid (kakeknya Tuan Guru Bajang) yang mungkin dikira sebagai Syekh Zainuddin As-Sumbawi. Padahal, Syekh Zainuddin yang dimaksud dalam silsilah keguruan itu adalah Syekh Zainuddin bin Muhammad Badawi As-Sumbawi.

Berbeda dengan sebelumnya, ketika menerbitkan buku ini saya tidak bertamu ke rumah Abah Guru Banjar Indah terlebih dulu. Pertama, karena memang tidak mengambil “bahan” dari beliau, kemudian buku ini hanya kumpulan biografi singkat ulama-ulama yang di antaranya sudah tersebar luas di media sosial dan buku-buku.

Semula saya berencana bertamu dan menghadiahkan buku itu kepada beliau. Sayangnya, tak lama kemudian Covid-19 muncul. Pergerakan pun terganggu. Nah, di saat-saat seperti itu, Abah Guru Banjar Indah hadir di mimpi saya dan mengatakan ingin membeli buku ini. Saya ingin sekali sebenarnya datang ke rumah beliau. Tapi, situasi saat itu sangat sulit. 

Setelah pandemi Covid-19 berangsur menghilang, saya sudah agak malu ke rumah beliau (dengan maksud menghadiahkan buku yang sudah lama terbit). Tiba-tiba, beliau kembali hadir di mimpi saya dengan maksud yang sama. Dan saya menyesal, hingga beliau meninggal dunia, buku itu tak pernah sampai ke tangan beliau.

Untuk diketahui, Abah Guru Banjar Indah bernama lengkap Tuan Guru H. Syaifuddin Zuhri bin Tuan Guru H. Abdurrahman Ismail bin Tuan Guru H. Ismail Khatib bin Qadhi H. Ibrahim bin H. M. Sholeh bin Khalifah Zainuddin bin Muhammad Arsyad Al Banjari. 

Beliau dilahirkan pada 20 Oktober 1952 M (30 Muharram 1372 H) di desa Dalam Pagar, Martapura. Wafat pada Minggu 7 April 2024 sekira pukul 10.10 Wita di Rumah Sakit Sultan Agung, Kota Citra Grha. Jenazah beliau dimakamkan di desa Tungkaran, Martapura.(*)

Posting Komentar

0 Komentar